Jakarta — Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh menghimbau masyarakat untuk memahami Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional secara keseluruhan. Pada pasal 58 ayat 1 tertulis, ‘Pendidik berperan mengevaluasi hasil belajar untuk memantau proses kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan’. Ayat tersebut sering dijadikan dasar untuk kontra terhadap UN.
“Kalau ada yang mengatakan UN melanggar UU, tolong dibaca UU No 20 tahun 2003 pasal 58 ayat 2, dan 59 ayat 3,“ kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) M.Nuh di Konferensi Pers Akhir Tahun Kemdikbud, Jakarta, Senin lalu.
Pada pasal 58 ayat 1, memang terlihat gurulah yang punya hak untuk menilai. Mendikbud membenarkan hal tersebut, tetapi penilaian tersebut untuk memantau proses kemajuan. Jika dilihat di ayat dua pada pasal yang sama, yaitu, ‘evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan’. Dan diitambah lagi pada pasal 59 ayat tiga, dimana ketentuan mengenai evaluasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
“Ayat 1 untuk evaluasi internal, ayat 2 untuk evaluasi eksternal, dan ayat 3 tentang pengaturan evaluasi dengan peraturan pemerintah,” katanya.
UN merupakan evaluasi (penilaian) untuk melihat sejauh mana pencapaian hasil belajar pada proses pendidikan yang telah/sudah berlangsung. Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, masih terdapat ‘pekerjaan rumah’ untuk membenahi pemanfaatan Ujian Nasional.
Di Indonesia, evaluasi pendidikan dilakukan terhadap peserta didik, lembaga dan program pendidikan pada jalur formal, dan non formal untuk semua jenjang, satuan dan jenis pendidikan. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 pasal 58 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan, terdapat dua jenis evaluasi, yaitu evaluasi internal yang dilakukan oleh pendidik terhadap hasil belajar peserta didik, dan evaluasi eksternal yang dilakukan oleh lembaga negara terhadap peserta didik, satuan pendidikan dan program pendidikan.
Hasil belajar pada proses pendidikan harus memenuhi kriteria minimal sistem pendidikan, di seluruh wilayah hukum negara kesatuan Republik Indonesia. Kriteria minimal terdapat di delapan Standar Nasional Pendidikan (SNP). Demikian hal ini tercantum pada Peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 mengenai Standar Nasional Pendidikan (SNP) jo PP No 32 Tahun 2013. Standar penilaian pendidikan merupakan item yang khusus, dari tujuh SNP lainnya, yang berbicara mengenai evaluasi (penilaian) pendidikan. Masih menurut PP ini, terdapat tiga bentuk penilaian pendidikan untuk jenjang pendididikan dasar dan menengah, yaitu (1) penilaian hasil belajar oleh pendidik, (2) penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan, dan (3) penilaian hasil belajar oleh pemerintah dilakukan dalam bentuk ujian nasional (UN).
Pada penilaian hasil belajar oleh pemerintah, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), adalah lembaga mandiri yang ditunjuk sebagai penyelenggara. Nantinya, pemanfaatan hasil ujian nasional adalah sebagai salah satu pertimbangan untuk (i) pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan; (ii) dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; (iii) penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan; (iV) pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Pernyataan ini sesuai dengan PP Nomor 19 Tahun 2005 jo PP Nomor 32 Tahun 2013 tentang SNP.
Peraturan itu mendapatkan kontra dari masyarakat mengenai keberadaan UN sebagai pemetaan mutu program, maupun sebagai penentu kelulusan dari peserta didik. Masyarakat meragukan keberadaan UN sebagai penentu kelulusan karena dianggap hanya menguji beberapa mata pelajaran saja, tidak dapat berfungsi sebagai penentu kelulusan peserta didik. Selain itu, perbedaaan layanan pendidikan antar daerah satu dengan yang lain, dengan sarana prasarana dan kualitas tenaga pendidik yang berbeda-beda, belum dapat menjadikan hasil UN sebagai pemetaan mutu program, dan/atau satuan pendidikan. Puncaknya, Kemdikbud mendapatkan amar putusan Mahkamah Konstitusi di tahun 2010, untuk melakukan pembenahan, yaitu (a) perbaikan sarana dan prasarana, (b) peningkatan kualitas guru, dan (c) penyebarluasan informasi pendidikan.
Perkembangan UN
Keberadaan Ujian Nasional telah menempuh perjalanan cukup panjang, dengan beberapa perubahan. Berawal tahun 1965-1971, terdapat ujian negara yang dilakukan secara nasional, dan pengawasan ketat. Kala itu, kelulusan hanya sekitar 50 persen. Akibatnya, banyak masyarakat menganggap sistem ini tidak adil, dan menuntut agar diubah menjadi ujian sekolah.
Pada tahun 1972-1979, pelaksanaan ujian dilakukan oleh sekolah dengan pengawasan relatif longgar, sehingga angka kelulusan mencapai 100 persen. Nama ujian ini adalah ujian sekolah. Kemudian, terdapat Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) di tahun 1980-2002, dimana kelulusan peserta didik ditentukan dari hasil penggabungan nilai UN dengan ujian sekolah.
Istilah Ujian Akhir Nasional baru ditetapkan di tahun 2003-2004, dimana pelaksanaan ujian dilakukan secara nasional, dan soal ujian dibuat oleh pusat. Terdapat penentuan batas minimal nilai kelulusan yakni ≥3.00 (tahun 2003), dan ≥4.00 (tahun 2004). Pengawasan ujian dilakukan secara ketat dan UAN dianggap satu-satunya syarat kelulusan.
Pada tahun 2005-2010, merupakan kelanjutan dari UAN dengan nama Ujian Nasional. Batas nilai kelulusan ditingkatkan menjadi ≥4.25 (tahun 2005-2007), dan ≥5.50 (tahun 2008-2010). Perkembangan terakhir adalah tahun 2011-2013, penyempurnaan dari UN periode sebelumnya. Kelulusan peserta didik ditentukan dari hasil gabungan nilai sekolah dan nilai UN dengan persentase nilai UN: nilai sekolah yaitu sebesar 60%:40%. Batas minimal nilai kelulusan adalah ≥5.50. Sistem ini dianggap sebagai satu syarat kelulusan.
Sumber : http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/berita/1992